Meskipun sebuah hadits menyebutkan bahwa setan dibelenggu selama bulan Ramadhan, tapi kegandrungan untuk berbuat dosa masih juga tinggi. Tak terkecuali melakukan onani di siang hari Ramadhan. Lalu, bagaimana hukum onani saat puasa?
Namun, sebelum mencari tahu hukum onani saat puasa, alangkah baiknya mengetahui terlebih dahulu apa itu onani. Berikut ini penjelasan selengkapnya:
1. Apa Itu Onani?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), onani diartikan sebagai aktivitas pengeluaran mani (sperma) tanpa melakukan senggama. Onani disebut memiliki makna sama dengan masturbasi, yakni proses memperoleh kepuasaan seks tanpa berhubungan intim. Lantas, bagaimana dampak hukum akibat onani saat seseorang menjalankan puasa? Untuk jawabannya bisa ditemukan di poin dua di bawah ini.
2. Bagaimana Hukum Onani Saat Berpuasa?
Keterangan mengenai hukum onani saat puasa bisa ditemukan antara lain dalam kitab Al-Majmu’ berikut ini:
Bila seseorang melakukan onani dengan tangannya-yaitu upaya mengeluarkan sperma-, maka puasanya batal tanpa ikhtilaf ulama bagi kami sebagaimana disebutkan oleh penulis matan (As-Syairazi). (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VI, halaman:286).
Melakukan onani hingga menyebabkan ejakulasi bisa membatalkan puasa, karena kesamaan ejakulasi yang diakibatkan oleh mubasyarah. Keterangan ini bisa ditemukan dalam kitab Al-Majmu’ berikut ini:
Jika seseorang beronani lalu keluar mani atau sperma (ejakulasi) maka puasanya batal karena ejakulasi sebab kontak fisik (mubasyarah) laki – laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan ejakulasi sebab ciuman. Onani memiliki konsekuensi yang sama dengan kontak fisik pada selain kemaluan antara laki – laki dan perempuan, yaitu soal dosa dan sanksi takzir. Demikian juga soal pembatalan puasa. (Lihat Imam An-Nawawi, 2010 M: VI/284).
Mazhab Syafi’i membedakan konsekuensi hukum atas inzal dari hal – hal yang menyebabkannya. Inzal atau ejakulasi akibat sentuhan fisik bisa membatalkan puasa. Sementara, inzal yang terjadi hanya karena pikiran jorok atau memandang syahwat tidak menyebabkan puasa batal.
Adapun pembatalan puasa yang diakibatkan selain oleh jimak tidak akan dikenakan kaffarah. Contoh pembatalan puasa selain jimak antara lain makan, minum, onani, dan kontak fisik hingga menyebabkan ejakulasi.
Larangan mubasyarah bisa ditemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 187, yang artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa hubungan badan dengan istri kamu. Mereka pakaian bagimu. Kamu pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu mengkhianati nafsumu, lalu Allah mengampuni dan memaafkanmu kesalahanmu. Oleh karena itu, sekarang lakukan hubungan itu dengan mereka dan carilah karunia yang telah ditetapkan Allah untukmu. Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam karena fajar. Lalu sempurnakan puasa itu sampai (awal) malam. (Tetapi) jangan kamu berhubungan dengan mereka itu, saat kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah batas ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (Surat Al-Baqarah ayat 187).
Menurut pandangan mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan mayoritas ulama Hanafi, mereka menyebutkan bahwa onani bisa membatalkan puasa. Sebab, sentuhan kelamin laki – laki dan perempuan tanpa ejakulasi bisa membatalkan puasa.
Seseorang yang membatalkan puasanya dengan onani wajib mengqadha atau mengganti puasanya pada bulan lain. Namun, tidak berkewajiban membayar kaffarah atas pembatalan puasa tersebut.
Jadi, kesimpulannya adalah onani bisa membatalkan puasa. Karena itu, onani merupakan salah satu bentuk syahwat yang harus dihindari oleh orang yang berpuasa.